favicon-96x96

Category: WATER FOR LIFE

20230510_111919
WATER FOR LIFE

Satu Sumur Dibor, Dua-Tiga Masalah Teratasi

Biasanya di bulan [Juni] begini kita hanya bisa berharap dari air tangki. Tapi sekarang sudah ada sumur yang dekat, hati tidak was-was cari uang air tangki.

-Ama Hari, Warga Dusun 3 Desa Tanadjawa

 

Ama Hari termasuk agak mujur karena punya sedikit penghasilan bulanan. Walau tidak banyak, masih bisa membeli air meskipun harus sedikit berkorban menahan membeli kebutuhan kedua anak perempuan balitanya. Saat memasuki musim kemarau, Ama Hari akan was-was menghitung dan mencukupkan uang untuk kebutuhan dasar. Kurang lebih seperti ini matematikanya. Harga air satu tangki dengan muatan 5.000-liter mencapai Rp 250.000 di awal musim kemarau. Makin menuju ke penghujung musim kemarau, tentu harganya akan meningkat. Kadang mencapai Rp 500.000.

Mobil tengki air

Air ini akan digunakan untuk berbagai kebutuhan mulai dari dimasak menjadi air minum, hingga berbagai kebutuhan rumah tangga belum lagi untuk memberi minum ternak, menyiram tanaman sayur dan mencuci kain tenun yang menjadi kerajinan utama para keluarga di Sabu. Biasanya air satu tangki hanya bertahan untuk 14 hari bagi satu rumah tangga dengan 5-8 anggota keluarga. Artinya, dalam satu hari rumah tangga mengonsumsi 300-liter untuk segala kebutuhan. Hasil survei IRGSC menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Desa Tanadjawa menggunakan sekitar 15-25 liter per hari untuk kebutuhan personal hygiene dan air minum, sisanya untuk kebutuhan ternak, dan keperluan kerajinan tenun maupun produksi gula cair. Sementara, menurut UN untuk hidup layak setidaknya seseorang membutuhkan 50-liter air bersih per hari untuk keperluan kebersihan lingkungan, dan diri, memasak makanan dan air minum.

Tenun, kerajinan warga Sabu, NTT

Untuk memenuhi kebutuhan air yang masih jauh dari layak, orang Desa Tanajawa menghabiskan minimal Rp 500.000 per rumah tangga. Angka ini bisa menanjak hingga Rp 750.000 di pertengahan musim panas dan memuncak hingga mencapai Rp 1.000.000 di penghujung tahun. Untuk mengetahui arti angka-angka ini kita perlu melihat pola pendapatan orang-orang Tanadjawa yang mayoritas bergantung pada pertanian, tenun dan menjual gula lontar. Survei IRGSC menunjukkan bahwa sekitar 45% penduduk Tanadjawa memiliki penghasilan tahunan sebesar Rp 12-25 juta per tahun. Sebanyak 35% memiliki penghasilan tahunan kurang dari Rp 12 juta per tahun. Ini berarti sebanyak 80% penduduk hanya memiliki kurang dari Rp 1 juta rupiah per bulan, hingga Rp 2 juta per bulan. Jika kita melihat skenario penghasilan tertinggi, ternyata untuk memenuhi kebutuhan air yang masih jauh dari layak, orang Tanadjawa setidaknya menggunakan 25% dari pendapatannya. Dapat dibayangkan proporsi pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan air bagi skenario keluarga dengan pendapatan yang lebih rendah.

Hewan ternak milik warga Desa Tanajawa, Sabu, NTT

Lalu apa yang terjadi pada keluarga-keluarga mayoritas dengan pendapatan tunai minim? Terpaksa mereka akan mengambil air dari sumur-sumur terdekat yang letaknya relatif jauh (0.5 – 1 km) dengan medan berbukit. Jika tempat tinggal berada jauh dari sumur, terpaksa sumber air tak terlindung seperti embung juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Jika melintasi jalan-jalan setapak di Desa Tanadjawa, anak-anak dan para perempuan setiap pagi dan sore berbondong-bondong memikul kayu yang gantungi 2 ember air. Biasanya satu kali perjalanan tidak cukup. Perlu berbolak-balik untuk memenuhi wadah persediaan air di rumah. Sebagai kebutuhan paling utama, semua alokasi waktu, uang dan tenaga, akan selalu dikerahkan untuk memenuhi kebutuhan air dalam rumah. Baik yang mengambil secara manual ke sumur-sumur maupun yang memilih menyisihkan uang untuk membeli air dengan mengorbankan kebutuhan lainnya. Membiarkan akses air sulit berarti membunuh mimpi.

Anak Desa Tanajawa mengambil air

Mendekatkan akses air berarti memangkas waktu pekerjaan-pekerjaan yang ditanggungkan pada anak-anak dan perempuan. Ini juga berarti memberi ruang bagi kepala keluarga untuk mengurangi rasa was-was dan memikirkan kebutuhan lain dalam tumbuh-kembang anak. Beban kerja rumah tangga dan ruang kepala yang penuh karena himpitan kebutuhan sering menjadi alasan utama kemarahan orang tua yang menimbulkan rasa kecil hati pada anak. Walau jarang digarisbawahi, dampak ini tak patut diabaikan. Mendekatkan akses air berarti mengeliminasi beban keluarga dan memberikan ruang bernafas yang lebih lega bagi masing-masing anggota keluarga dengan berbagai tugas dan tanggung jawabnya. Bagi anak-anak, beban keluarga yang berkurang berarti hadirnya suasana tumbuh kembang kondusif. Bagi anak-anak, ini berarti sebuah ruang yang bertambah keleluasaannya untuk mulai bermimpi.

Bantuan air bersih untuk Kabupaten Sabu, Desa Tanajawa dan Desa Hallapadji

Humanity First Indonesia (HFI) memilih Desa Tanajawa sebagai satu dari dua desa pengeboran sumur yang berlokasi di Pulau Sabu dalam giat-giat Water for Life. Ini merupakan kabar baik sekaligus harapan bagi puluhan desa dan ratusan dusun dengan masalah serupa di Pulau Sabu. Warga Dusun 3 di Desa Tanajawa berharap bisa menjadi titik awal dan bukan akhir bagi HFI dalam membantu lebih banyak dusun dan desa di Pulau Sabu untuk perubahan dan kehidupan yang lebih baik. Ungkapan dalam Bahasa Sabu mengatakan, “Bole belo rai hawu, rai due nga donahu,” yang artinya: jangan lupakan tanah Sabu, tanah lontar dan gula. Biarlah ingatan tentang Tanadjawa menjadi pengingat bahwa masih ada pekerjaan besar yang menanti dalam mewujudkan keadilan akses air yang memberikan kesejahteraan bagi setiap umat manusia.

 

Oleh: Lodimeda Kini*

*) Penulis adalah peneliti di Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) di bidang sumber daya air

 

20230527_133841
WATER FOR LIFE

Bantuan Air Bersih Humanity First, Membantu Penyelesaian Masalah Stunting di Desa Nusa, Kab. Timor Tengah Selatan

“Ketika ada air, masyarakat berpikir mau cuci tangan atau mau minum. Mereka memilih minum daripada cuci tangan. Ketika makan juga otomatis tidak dalam keadaan bersih dan sehat. Ini jadi persoalan,” ujar Ratu Wulla dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Badan Kependudukan, Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Senin (7/11).

Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur

Permasalahan air bersih ini sangat erat hubungannya dengan masalah stunting di NTT. khususnya di wilayah Kab. Timor Tengah Selatan (TTS). Wilayah TTS pernah menduduki daerah tertinggi kasus stunting di Indonesia pada tahun 2021. Secara nasional, Kabupaten TTS menduduki puncak nomor satu untuk prevalensi balita stunting di antara 246 kabupaten/kota di 12 Provinsi Prioritas.

demikian keterangan tertulis yang dikeluarkan BKKBN yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (23/3). 

Anak-anak di Desa Nusa, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT

Permasalahan ini masih terus menjadi momok di Kab. Timor Tengah Selatan.

Bukan kami berdiam diri untuk tidak mau menyelesaikan masalah Stunting di daerah TTS. Masalah gizi buruk ini tidak hanya faktor kemiskinan masyarakat dan pernikahan dini. Faktor yang menjadi indikator utama adalah masalah air bersih dan sanitasi,”

Ujar Evi maria perwakilan bappeda saat sambutan peresmian Bantuan air bersih humanity First di Desa Nusa, Kab. TTS.

 Beliau juga menegaskan, “permasalahan air bersih ini bukan perkara yang mudah. Satu dipengaruhi letak geografis di Lokasi TTS yang merupakan dataran tinggi. Kemudian, di wilayah TTS yang merupakan bagian dari wilayah NTT ini memiliki musim kemarau yang panjang dan musim penghujan yang singkat. Di masa penghujan, kebiasaan masyarakat di TTS ini menampung air hujan. Memasuki musim kemarau, warga TTS harus membeli air dari mobil tangki yang dihargai Rp10.000 untuk 3 jeriken ukuran 20 liter. Sumber air yang dibeli melalui mobil tangki tersebut tidak jelas asal-usulnya dan apakah aman untuk dikonsumsi. Selain itu, air sangat penting juga untuk pertanian. yang mana masyarakat di TTS, khususnya di Desa Nusa, lokasi pengeboran air bersih HF, hidupnya sangat berpengaruh dari hasil pertanian. Di masa penghujan, menjadi musim di mana mereka menanam sayur-sayuran. Namun, di masa kemarau, masyrakat tidak bisa menanam dan tentunya sangat berpengaruh dengan tingkat penghasilan mereka. Oleh karena itu, wilayah TSS, khususnya di Desa Nusa, termasuk dalam kategori wilayah miskin. Selain itu, untuk dilakukan pengeboran air di wilayah TTS cukup mahal, dengan anggaran APBD kami yang tidak besar.”

warga membeli air jeriken

Humanity First Indonesia bersama humanity First USA dan Humanity First Internasional melalui program Water For Life telah melakukan pengeboran air di Desa Nusa, Kab. Timor Tengah Selatan, provinsi NTT.  Selama 3 bulan, Humanity First Indonesia melakukan assessment dan perencanaan projek Water For Life yang dilaksanakan oleh Project Officer (PO), Agil Cahyo Manembah. Dalam pelaksanaan pengadaan air bersih di desa Nusa, Humanity First bekerja sama dengan Bappeda dan juga Bumdes Desa Nusa. Kerjasama ini dilakukan agar air dapat dikelola dengan baik secara manajemen dan dapat di gunakan secara adil oleh warga Desa Nusa, baik untuk keperluan air minum dan juga kebutuhan pertanian. 

pengalungan selendang sebagai penerimaan tamu kehormatan dan keluarga

27 maret 2023, Humanity First Indonesia bersama masyarakat dan pihak pemerintah, Bappeda Kab. TTS, Camat, Bumdes, Kepala Adat, Kepala Desa Nusa dan masyarakat setempat melakukan peresmian sebagai tanda syukur atas air bersih di desa mereka. Peresmian dimulai dengan proses adat, yaitu perwakilan HF dikalungi selendang khas Desa Nusa sebagai tanda diterimanya HF sebagai tamu kehormatan dan keluarga. Kemudian acara berlanjut berupa sambutan dari perwakilan yang hadir. 

peresmian air bersih dari Humanity First di Desa Nusa, Kab. TTS, NTT

Perwakilan Humanity First Indonesia, Vice Chairman, memberikan pesan kepada masyarakat dan pemerintah setempat untuk mengelola air ini dengan baik. Selain untuk kebutuhan minum dan mandi, diharapkan air bersih ini dapat digunakan untuk irigasi pertanian sayur. Dengan adanya sumber air, diharapkan masyarakat Desa Nusa tetap dapat menanam sayur di musim kemarau agar pendapatan tetap ada. Air tersebut juga dapat digunakan untuk budidaya ikan lele sebagai penghasilan tambahan dan sebagai sumber makanan yang tinggi protein untuk mengatasi masalah stunting di Desa Nusa.

Acara peresmian di akhiri oleh tarian kebahagiaan. Warga terlihat begitu senang dan bersyukur. Menari dengan selendang dan menarik satu persatu masyarakat yang lain untuk ikut menari. Tidak luput juga PO Water For Life, Agil Cahyo Manembah, Vice Chairman dan tim HF lainnya turut diajak untuk menari bersama dalam mengekspresikan kebahagiaan atas tersedianya air bersih di Desa Nusa berkat bantuan Humanity First.

tarian kebahagiaan, adat Desa Nusa

“Mas Agil. Kami berterima kasih atas bantuan air bersih dari Humanity First. Kami bahagia dan senang sekali dengan hadirnya Mas Agil dan perwakilan HF yang lain untuk bantu kami. Kami sedih saat Mas Agil harus pulang. Mas Agil dan perwakilan HF yang lain sudah seperti keluarga bagi kami. Kami sedih.”

ujar Adi, perwakilan masyarakat dalam pesan singkat WA beliau.

20230520_161025
WATER FOR LIFE

Bantuan Air bersih untuk Masyarakat Pulau Sabu, Pulau Ujung Selatan Indonesia

Suara kapal cepat yang mengantar kami ke Kepulauan Sabu terdengar, “Toon.. Toon..”. Pada Jumat, 19 Mei 2022, Tim Humanity First (HF) Indonesia melakukan perjalanan ke Kepulauan Sabu setelah meresmikan program Air Bersih di Kota Kupang. Kepulauan Sabu, yang merupakan kepulauan paling ujung selatan Indonesia dan berdekatan dengan Australia, telah berkembang sejak wilayah Sabu menjadi kabupaten provinsi NTT. Akses ke pulau ini membutuhkan perjalanan kapal besar selama 10 jam dari Kota Kupang, dengan jadwal pelayaran yang tidak tersedia setiap hari. Selain itu, alternatif transportasi ke pulau Sabu adalah menggunakan pesawat terbang, namun dengan biaya yang sangat mahal. Untuk kali ini, Tim Humanity First Indonesia memilih kapal cepat sebagai sarana transportasi.

Setelah perjalanan selama 10 jam, tim HF tiba di pelabuhan pulau Sabu pada pukul 08.30 WITA. Kami disambut oleh teman kami, Kak Nando, dari Generasi Peduli Sesama, yang telah membantu kami menjalankan program Water For Life di pulau Sabu.

Pada Sabtu, 20 Mei 2023, setelah tiba di Pulau Sabu, Tim HF langsung menuju lokasi pengeboran yang akan diresmikan di Desa Tanajawa dan Desa Hallapadji. Di Desa Tanajawa, peresmian dilakukan secara sederhana di depan lokasi pengeboran. Acara dimulai dengan sambutan dari Kepala Desa Tanajawa, wakil ketua Humanity First, Bappeda Kabupaten Sabu, PUPR, dan Kepala Adat.

Sambutan peresmian air bersih

Selanjutnya, dilakukan penyembelihan hewan sebagai ungkapan syukur atas hadirnya sumber air bersih di desa mereka. Papan nama pun dipasang secara bersama dan dilakukan doa oleh pemimpin agama setempat. Acara peresmian ditutup dengan makan bersama yang dihadiri oleh tokoh adat dan masyarakat.

Peresmian proyek air bersih di Desa Tanajawa, Sabu, NTT

“Hadirnya sumber air bersih yang diberikan oleh Humanity First ini merupakan berkat Tuhan bagi kita, warga Desa Tanajawa. Kita harus memanfaatkannya dan menjaganya agar tetap berkelanjutan. Air bersih tidak hanya berguna untuk minum, tetapi juga untuk pertanian dan kehidupan sehari-hari,”

ujar Kepala Desa Tanajawa dalam prosesi peresmian.

Kemudian perwakilan Humanity First, Ahmad Masihuddin selaku Vice Chairman HF Indonesia turut menyampaikan,

“Terima kasih kepada semua elemen yang telah membantu terwujudnya program air bersih di Tanajawa. Ini yang hanya bisa kami berikan untuk warga. Semoga bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari dan dapat dimanfaatkam semaksimal mungkin, bukan hanya untuk minum dan mandi, namun dapat digunakan untuk mengairi perkebunan atau menanam sayur untuk kebutuhan warga. Kami titip sumber air ini dan tolong dirawat keberlangsungannya,” 

Pukul 03.00 WITA, tim Humanity First tiba di Desa Hallapadji untuk peresmian pengeboran kedua di Pulau Sabu. Setelah melakukan perjalanan selama satu jam, akhirnya kami sampai ke lokasi. Suara genderang musik khas Sabu telah terdengar. Saat kami turun dari mobil, kami segera disambut meriah dengan tarian Ledo yang merupakan tarian sambutan tamu kehormatan adat setempat. Kami kemudian dikalungkan selendang buatan tangan warga sebagai simbol diterimanya kami sebagai keluarga.

Tari Ledo, tari adat untuk menyambut tamu kehormatan

Acara peresmian di Desa Hallapadji diawali dengan sambutan dari berbagai pihak, yaitu dari Desa, Bappeda Kab, Wakil ketua Humanity First, PUPR, hingga ketua adat. Prosesi adat juga dilakukan dengan memotong pita peresmian di lokasi pengeboran oleh wakil ketua Humanity First Indonesia, ketua adat, dan perwakilan pemerintah.

Kemudian prosesinya dilanjut dengan perwakilan Humanity First Indonesia mengambil air menggunakan kendi dan menyerahkannya pada ketua adat dan juga pada perwakilan masyarakat setempat sebagai simbol penyerahan air kepada masyarakat dari Humanity First Indonesia.

Peresmian air bersih di Desa Hallapadji, Pulau Sabu, NTT

“Kami mohon untuk diterima air bersih ini. Tolong dirawat keberlangsungannya dan digunakan sebaik-baiknya untuk kehidupan sehari-hari,”

Ujar Vice Chariman Humanity First Indonesia

Prosesi diiringi oleh suara gendrang dan tarian ledo. Peresmian lalu ditutup dengan makan bersama dan foto bersama dengan warga Desa Hallapaji.

Humanity First Indonesia bekerja selama 3 bulan melakukan assessment, perencanaan, dan pengeboran di Pulau Sabu dengan bantuan dari Agil Cahyo Manembah selaku PO dari projek Water For Life. Pulau Sabu merupakan pulau kecil yang sangat unik dengan letak geografisnya yang berbukit-bukit dan dikelilingi oleh laut. Kebudayaan dan tradisi penghormatan terhadap pemimpin masih dijaga dengan baik di pulau ini.

Pulau Sabu hanya mengalami musim hujan yang berlangsung selama 3 bulan saja, setelahnya adalah musijm kemarau. Kondisi ini menyebabkan wilayah tersebut menjadi kering dan sulit mendapatkan air bersih. Bahkan, terdapat suatu anggapan bahwa pengeboran air tidak akan mengeluarkan air, karena pernah terjadi di beberapa lokasi pengeboran memang tidak keluar air.

Selain itu, masyarakat pulau Sabu sebelumnya mengandalkan air hujan atau sumber mata air yang berkilo-kilo jauhnya untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Ironisnya, menurut aktivis gerakan pendidikan Kota Sabu, Kak Nando, menyampaikan bahwa, di Sabu masih banyak anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan. Salah satu penyebabnya karena masalah air. Dikarenakan anak-anak harus mengambil air dari sumber yang jauh, sehingga waktu mereka untuk belajar terbatas. Bahkan terdapat tradisi dimana anak-anak bersekolah membawa jerrycan 5 liter untuk mengambil air.

 

Foto tim HF Indonesia bersama dengan masyarakat setempat

 

Selain itu, biaya air bersih yang mahal juga mempengaruhi pendapatan masyarakat. Mereka harus membeli air bersih per-5000 liter dengan harga mencapai Rp 350.000,- Biasanya, dalam sebulan mereka bisa sampai tiga kali membeli air. Sehingga, dalam sebulan mereka bisa menghabiskan uang mencapai satu juta rupiah demi mendapatkan air bersih. Namun, penghasilan mereka tidak sebesar itu. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki uang yang dapat membeli air bersih, sedangkan mayoritas masyarakat Sabu adalah petani.  Melihat latar belakang ini, Humanity First Indonesia bekerja sama dengan HF USA dan Internasional menjalankan program Water For Life di Pulau Sabu untuk mengatasi masalah air bersih tersebut.

 

oleh: Ahmad Masihuddin

 

Kontribusi berikan air bersih di lebih banyak lokasi yang membutuhkan di sini 💙.