Di sebuah sudut Fakfak-Papua, terbitlah sebuah cahaya sederhana namun hangat. Cahaya itu lahir dari semangat berbagi dan kecintaan terhadap pendidikan serta kemanusiaan. Dari tangan Bapak Hafidz Bahansubu dan Ibu Mutia Siddiqa, bersama Humanity First Indonesia, berdirilah sebuah rumah belajar yang diberi nama SaTuTiBa – Satu Tungku, Tiga Batu.
Nama ini bukan sekadar nama. Ia lahir dari filosofi kearifan lokal masyarakat Fakfak: satu tungku, tiga batu. Sebuah simbol kebersamaan, keseimbangan, dan persatuan. Tungku tidak akan berdiri tegak tanpa tiga batu penopang, dan kehidupan tidak akan kokoh tanpa nilai-nilai yang menopang manusia di dalamnya.

Kegiatan di Rumah Belajar SaTuTiBa Fakfak
Dengan filosofi itu, SaTuTiBa hadir membawa tiga pijakan utama:
Batu Pertama: Pendidikan dan Literasi
Di sini, anak-anak Papua menemukan ruang untuk membaca, menulis, dan belajar yang bertujuan membangun semangat literasi. Selain itu, sebagai pendampingan belajar anak-anak untuk pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris.
Batu Kedua: Budaya dan Karakter
SaTuTiBa tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan akar. Anak-anak tumbuh dengan kebanggaan pada tradisi, seni, dan warisan leluhur mereka. Karakter dibentuk bukan hanya dengan pengetahuan, tetapi juga dengan nilai, kejujuran, dan kebersahajaan.
Batu Ketiga: Kebersamaan dan Spiritualitas
SaTuTiBa menjadi ruang inklusif. Sebuah tempat di mana anak-anak, orang tua, relawan, dan masyarakat berjalan beriringan. Di sini, kebersamaan adalah kekuatan, dan spiritualitas adalah cahaya yang menuntun setiap langkah.
Lebih dari sekadar rumah belajar, SATUTIBA adalah identitas baru untuk pendidikan di kampung Lusi Peri, Fakfak Papua Barat.

Seorang anak yang sedang menulis
Ia adalah tungku kecil yang menyalakan api harapan. Api yang menghangatkan hati anak-anak, membangun keberanian untuk bermimpi, dan menyalakan tekad agar mereka tumbuh menjadi generasi yang berkarakter, berilmu, dan berakar budaya.
SaTuTiBa ingin dikenal bukan hanya sebagai tempat belajar, tetapi sebagai simbol perubahan. Dari Fakfak-Papua, ia mengirimkan pesan ke seluruh Indonesia bahwa:
Pendidikan yang berakar pada budaya, bernafas kebersamaan, dan berjiwa kemanusiaan akan melahirkan generasi yang kuat.