Biasanya di bulan [Juni] begini kita hanya bisa berharap dari air tangki. Tapi sekarang sudah ada sumur yang dekat, hati tidak was-was cari uang air tangki.
-Ama Hari, Warga Dusun 3 Desa Tanadjawa
Ama Hari termasuk agak mujur karena punya sedikit penghasilan bulanan. Walau tidak banyak, masih bisa membeli air meskipun harus sedikit berkorban menahan membeli kebutuhan kedua anak perempuan balitanya. Saat memasuki musim kemarau, Ama Hari akan was-was menghitung dan mencukupkan uang untuk kebutuhan dasar. Kurang lebih seperti ini matematikanya. Harga air satu tangki dengan muatan 5.000-liter mencapai Rp 250.000 di awal musim kemarau. Makin menuju ke penghujung musim kemarau, tentu harganya akan meningkat. Kadang mencapai Rp 500.000.
Air ini akan digunakan untuk berbagai kebutuhan mulai dari dimasak menjadi air minum, hingga berbagai kebutuhan rumah tangga belum lagi untuk memberi minum ternak, menyiram tanaman sayur dan mencuci kain tenun yang menjadi kerajinan utama para keluarga di Sabu. Biasanya air satu tangki hanya bertahan untuk 14 hari bagi satu rumah tangga dengan 5-8 anggota keluarga. Artinya, dalam satu hari rumah tangga mengonsumsi 300-liter untuk segala kebutuhan. Hasil survei IRGSC menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Desa Tanadjawa menggunakan sekitar 15-25 liter per hari untuk kebutuhan personal hygiene dan air minum, sisanya untuk kebutuhan ternak, dan keperluan kerajinan tenun maupun produksi gula cair. Sementara, menurut UN untuk hidup layak setidaknya seseorang membutuhkan 50-liter air bersih per hari untuk keperluan kebersihan lingkungan, dan diri, memasak makanan dan air minum.
Untuk memenuhi kebutuhan air yang masih jauh dari layak, orang Desa Tanajawa menghabiskan minimal Rp 500.000 per rumah tangga. Angka ini bisa menanjak hingga Rp 750.000 di pertengahan musim panas dan memuncak hingga mencapai Rp 1.000.000 di penghujung tahun. Untuk mengetahui arti angka-angka ini kita perlu melihat pola pendapatan orang-orang Tanadjawa yang mayoritas bergantung pada pertanian, tenun dan menjual gula lontar. Survei IRGSC menunjukkan bahwa sekitar 45% penduduk Tanadjawa memiliki penghasilan tahunan sebesar Rp 12-25 juta per tahun. Sebanyak 35% memiliki penghasilan tahunan kurang dari Rp 12 juta per tahun. Ini berarti sebanyak 80% penduduk hanya memiliki kurang dari Rp 1 juta rupiah per bulan, hingga Rp 2 juta per bulan. Jika kita melihat skenario penghasilan tertinggi, ternyata untuk memenuhi kebutuhan air yang masih jauh dari layak, orang Tanadjawa setidaknya menggunakan 25% dari pendapatannya. Dapat dibayangkan proporsi pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan air bagi skenario keluarga dengan pendapatan yang lebih rendah.
Lalu apa yang terjadi pada keluarga-keluarga mayoritas dengan pendapatan tunai minim? Terpaksa mereka akan mengambil air dari sumur-sumur terdekat yang letaknya relatif jauh (0.5 – 1 km) dengan medan berbukit. Jika tempat tinggal berada jauh dari sumur, terpaksa sumber air tak terlindung seperti embung juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Jika melintasi jalan-jalan setapak di Desa Tanadjawa, anak-anak dan para perempuan setiap pagi dan sore berbondong-bondong memikul kayu yang gantungi 2 ember air. Biasanya satu kali perjalanan tidak cukup. Perlu berbolak-balik untuk memenuhi wadah persediaan air di rumah. Sebagai kebutuhan paling utama, semua alokasi waktu, uang dan tenaga, akan selalu dikerahkan untuk memenuhi kebutuhan air dalam rumah. Baik yang mengambil secara manual ke sumur-sumur maupun yang memilih menyisihkan uang untuk membeli air dengan mengorbankan kebutuhan lainnya. Membiarkan akses air sulit berarti membunuh mimpi.
Mendekatkan akses air berarti memangkas waktu pekerjaan-pekerjaan yang ditanggungkan pada anak-anak dan perempuan. Ini juga berarti memberi ruang bagi kepala keluarga untuk mengurangi rasa was-was dan memikirkan kebutuhan lain dalam tumbuh-kembang anak. Beban kerja rumah tangga dan ruang kepala yang penuh karena himpitan kebutuhan sering menjadi alasan utama kemarahan orang tua yang menimbulkan rasa kecil hati pada anak. Walau jarang digarisbawahi, dampak ini tak patut diabaikan. Mendekatkan akses air berarti mengeliminasi beban keluarga dan memberikan ruang bernafas yang lebih lega bagi masing-masing anggota keluarga dengan berbagai tugas dan tanggung jawabnya. Bagi anak-anak, beban keluarga yang berkurang berarti hadirnya suasana tumbuh kembang kondusif. Bagi anak-anak, ini berarti sebuah ruang yang bertambah keleluasaannya untuk mulai bermimpi.
Humanity First Indonesia (HFI) memilih Desa Tanajawa sebagai satu dari dua desa pengeboran sumur yang berlokasi di Pulau Sabu dalam giat-giat Water for Life. Ini merupakan kabar baik sekaligus harapan bagi puluhan desa dan ratusan dusun dengan masalah serupa di Pulau Sabu. Warga Dusun 3 di Desa Tanajawa berharap bisa menjadi titik awal dan bukan akhir bagi HFI dalam membantu lebih banyak dusun dan desa di Pulau Sabu untuk perubahan dan kehidupan yang lebih baik. Ungkapan dalam Bahasa Sabu mengatakan, “Bole belo rai hawu, rai due nga donahu,” yang artinya: jangan lupakan tanah Sabu, tanah lontar dan gula. Biarlah ingatan tentang Tanadjawa menjadi pengingat bahwa masih ada pekerjaan besar yang menanti dalam mewujudkan keadilan akses air yang memberikan kesejahteraan bagi setiap umat manusia.
Oleh: Lodimeda Kini*
*) Penulis adalah peneliti di Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) di bidang sumber daya air